Harus Ganti Logo. Segera!

Mat sedang mengenali ciri-ciri taksi yang beredar di Jakarta.

Mat: Yang warna putih taksi apa, Ma?
Mama: Ekspres.

Mat: Yang warna biru?
Mama: Blue Bird.

Mat: Ada warna apa lagi, Ma?
Mama: Ada yang kuning. Itu ..
Mat: Itu orange, Ma. Bukan kuning.
Mama: Oh ya. Orange.
Mat: Namanya?
Mama: Trans Cab.

Mat: Tuh .. tuh .. yang itu baru warna kuning. Namanya taksi apa?
Mama: Taksiku.

Lalu lewatlah taksi Pusaka ..

Mat: Ma, ada yang warna biru lagi.
Mama: Iya, namanya Blue Bird.
Mat: Bukan, Ma. Bukan yang gambar burung. Yang lain lagi birunya.
Mama: Yang mana sih?
Mat: Yang di atasnya ada gambar itu .. gambar kecoa yang mau mati tuuuuh ..

---> Does it look like a dying cockroach to you?

Balada Uang Receh

Berasa ga sih kalo semakin lama nominal uang yang dihargai di negeri kita ini, terutama di kota Jakarta dan sekitarnya, semakin besar? Dan uang yang nominalnya kecil makin ga dianggap sebagai uang?

Pernah ragu-ragu ngasih tip senilai cuma limaribu? Apa kurang? Apa nanti dikira pelit? Tukang parkir pinggir jalan aja sering malak uang parkir limaribu, masa ini ngasih tip di salon ato hotel ato restoran disamain segitu? Apa kata dunia? Yang ekstrim bakalan bilang, "Mendingan ga usah ngasih tip daripada malu-maluin".

Ngasih angpao pun lebih bergengsi dengan lembaran sepuluhribu dibanding dengan dua lembar limaribu. Biarpun jaman sekarang semua juga pasti dibilang pelit kalo cuma mampu ngisi angpao senilai sepuluhribu.

Pernah berasa susahnya nyari uang lembaran seribu? Yang masih mulus dan garing? Kalopun kedapetan tuh seribuan, rata-rata wujudnya udah pada lecek, buluk dan bau. Entah udah keliling negeri dan pindah tangan berapa kali. Yang pengen cepet-cepet kita "buang" supaya ga bikin dompet dan tangan kita terkontaminasi kuman.

Ada yang punya pengalaman kelimpungan bayar taksi yang argometernya mengandung angka seribu? Di dompet cuma ada lembaran nominal besar, sedangkan sopir taksi ngakunya juga ga punya kembalian. Gue pernah harus bayar argo enamribu, tapi adanya dua lembar limaribu di dompet. Sisanya limapuluhribuan, percuma kan. Mana rela gue ngasih semuanya ke si sopir taksi? Dia juga bisa aja tipu-tipu demi ngedapetin uang lebih. Disuruh cari tukang parkir ato tukang ojek buat tuker uang kecil dia ga mau. Malah dia minta gue pegang aja tu uang, buat "nambah-nambah". Maksudnya? Gue kere, begitu? Kalo ngikutin kata hati yang tengah tersinggung, pengennya sih gue ga bayar tu taksi. Tapi ga mau nambah dosa lah sama orang kecil begitu. Gue kasih limaribu plus logam limaratus yang ketemu setelah gue korek-korek dompet gue yang malang. Terima ga terima. Biar dia rugi limaratus. Sapa suruh narik taksi siang-siang begitu masih ngaku ga punya kembalian empatribu? Jadi dari pagi ngapain aje? Ngukur jalanan pake gelindingan ban taksi lo?

Nah, jadinya gimana nasib uang receh logam yang kecil-kecil itu?

Saat ini logam seribuan masih sangat beruntung karena umurnya masih muda, masih banyak yang mengkilap, tipis seperti koin game, dan masih lumayan langka sehingga sangat layak buat dikoleksi atau dimasukkan celengan. Banyak dicari karena yah .. daripada nyimpenin lembaran seribuan dekil.

Logam limaratus lebih beruntung lagi, karena dia ga punya saingan. Ya, mana mungkin menyobek lembaran atau memotong logam seribu menjadi dua buat ngedapetin jumlah limaratus? Seorang jenius matematika pun bakalan dianggap seorang idiot ga ketolong kalo dia berani membayar sesuatu dengan setengah lembaran seribu.

Tapi berasa ga, kalo si logam limaratus ini pun mulai memberatkan dompet dan mulai ga dianggap? Pernah membayar dengan menambahkan limaratus hanya untuk mendapatkan uang kembalian dengan nominal "bulat"? Bayar uang tol sebesar empatribulimaratus dengan uang sejumlah limaribulimaratus? Ambil kalkulator, hayo. Jadi kembalinya seribu bukan? Bukan limaratus kan? Sukur-sukur dapet logam seribu yang mengkilap itu. Tapi seringkali juga itu limaratus dikembalikan lagi dengan ditambah limaratus, hanya karena si petugas tol ga mau ngumpulin recehan.

Lalu, gimana dengan logam duaratus? Siapapun yang punya ide mendesain dan mengeluarkan nominal logam ini ke dunia keuangan Indonesia, pasti ga punya maksud selain bertujuan menghapuskan logam seratus, berikut anak-anaknya yang bernama limapuluh dan duapuluhlima, dari muka bumi pertiwi.

Kembali ke beberapa paragraf di atas yang menuliskan pendapat ekstrim mengenai nilai uang tip (dan juga tentang si sopir taksi bego). Gue pernah ngalamin hinaan penting lainnya. Kali ini sama seorang tukar parkir di ruko daerah bergengsi Kelapa Gading. Dulu tuh parkir di pinggir jalan masih seharga limaratus. Iya lah. Parkirnya kagak dibantuin, pas mau keluar baru deh para tukang parkir berlari-lari dengan lucunya seperti pemuda kasmaran mengejar pemudi idamannya di film-film jadul. Dengan sangat menyesal, gue lagi buru-buru dan ga sempet buka dompet nyari uang lembaran. Dan pas di dashboard ada logam seratus lima biji. (Dicatat ya, saat itu juga belom ada yang namanya logam duaratus atau limaratus. Seharusnya logam seratus pun masih sangat bernilai).

Gue buka kaca mobil gue, dan gue serahkan logam-logam seratus itu ..

.. si tukang parkir melempar semuanya kembali ke dalam mobil sambil marah-marah ga jelas. Semuanya. Sampe berkerincingan dan bertebaran di dekat kaki gue.

Oho! Gue tutup kaca dan tancap gas dengan suara kenceng, meninggalkan debu dan asap knalpot ke muka si monyet parkir yang berkutu itu. Lumayan, ga usah bayar.

Jadi memang kondisinya dari dulu udah begitu. Ga guna pemerintah mengeluarkan uang logam yang pada akhirnya ga mau diterima juga oleh orang-orang yang katanya butuh uang.

Kasir supermarket dulu masih punya sopan santun mengganti uang kembalian receh dengan permen. Walaupun permennya ga enak, harganya ga sebanding, dan sangat tidak dianjurkan oleh dokter-dokter gigi. Tapi kalo permen-permen itu dikumpulin, apa bisa nanti dipake buat beli sembako di supermarket yang sama?

Seiring perkembangan waktu dan kenaikan inflasi, permen diganti dengan "Maaf, ga ada kembalian, Bu." Cih. Kenapa gue ga pernah terpikir membalas dengan, "Tidak ada maaf bagimu. Mana kembalian saya?" Hmm.

Dunia semakin apatis di kala para kasir mulai melupakan kemampuan berhitung mereka dan menjadi buta angka. Nilai-nilai ganjil dan kecil ga bisa kebaca sama mereka. (Untung mereka bukan pialang saham). Ga ada lagi permen, ga ada lagi basa-basi permintaan maaf. Harga barang dipatok ganjil-ganjil. Tapi uang kembalian semua dibulatkan ke bawah secara otomatis. Malah ada yang ga pernah menyediakan uang logam seratus. Coba hitung, berapa banyak orang yang belanja dalam sehari, dikalikan sejumlah rupiah yang ga mereka kembalikan? Dikalikan seminggu, sebulan, setahun? Itu bisa jadi pencurian terencana skala besar.

Gue yakin pasti nanti ada yang bilang, kalo gitu kenapa ga bayar pake kartu kredit atau kartu debit aja? Satu rupiah pun bisa dipencet kan.

Kawan, memang betul. Tapi ada yang lo lupakan:
1. Kartu kredit punya iuran tahunan yang mesti dibayar, dan belanjanya pun harus senilai minimum.
2. Kartu debit punya administrasi bulanan, dan belanjanya pun senilai minimum. Coba aja lo ajuin kartu debit elo buat bayar belanjaan senilai empatribusembilanratustujuhpuluhlima rupiah. Dan liat tampang si kasir jadinya begimana.
3. Ada kalanya mesin EDC rusak.
4. Ada kalanya lo memang harus bayar tunai.

Gue pasti kesel kalo ga dapet kembalian yang sesuai. Kalo sekali-kali masih bisa diterima. Tapi nih, semakin didiemin, semakin cuek mereka. Jadi dianggap itu sudah biasa dan bukan masalah besar. Lagian, apa ga buang-buang waktu aja bikin ribut di tempat umum cuma karena masalah uang receh? Walaupun itu hak gue sebagai konsumen dan itu uang gue yang mereka curi.

So, gue belom pernah bikin ribut. Sebaliknya, kalo gue kebetulan dapet uang receh, terutama logam limapuluh dan seratus, gue kumpulin buat bayar belanjaan yang harganya ganjil. Kalo logam dupuluhlima (apalagi limaperak dan sepuluhperak), yah apa boleh buat, jarang nemu. Tapi bukan berarti ga ada lho. Gue masih punya beberapa logam duapuluh lima. Dan terus terang, gue ga sabar nunggu saat yang tepat dimana gue bisa keluarin tu logam duapuluhlima dan ngasih itu ke kasir. Gue pengen tau apa diterima ato ga. Barangkali karena mereka ga mau nerima, jadinya kembalian gue bisa dibulatkan ke atas. Hyeh-heh-heh.

Dan karena gue sering kelupaan kalo gue tuh punya uang receh, gue kumpulin di satu dompet koin yang lucu, supaya gue demen dan ga pernah ketinggalan bawa.

Logam limaratus dan seribu, gue masukin celengan. Kalo dah penuh, ini masih bisa ditukar dengan uang lembaran dan dipindahin ke bank. Kalo suatu saat nanti kedua nominal ini pun udah ga dihargai, ya gue kumpulin lagi di dompet koin buat dibawa belanja.

Tempat-tempat yang perlu diwaspadai karena penuh dengan pencuri uang receh: Hypermart, mini market, restoran yang mengenakan PPN (yes, McDonald's, I'm talking to you! Gue tinggal tunggu aja waktunya dimana lo ga mau lagi nyediain logam duaratus dan limaratus), taksi dengan argometer, gerbang tol (karena mereka seneng banget ngasih kembalian asal-asalan, yang robek lah, yang dekil lah, uang receh yang diselotip jadi satu lah, uang receh yang dibungkus dengan uang lembaran lah. Mana sempat gue ngitung kembalian di gerbang tol?).

Gue jadikan tempat-tempat ini juga sebagai sasaran untuk "membuang" uang receh. Hari ini, gue udah serahkan empat logam seratusan ke McDonald's Supermal (kasirnya seperti biasa ga mau ngembaliin seratus, jadi gue kasih empatratus recehan dan minta dia kembaliin limaratus), juga satu logam limapuluhan ke Hypermart (smooth!).

Memang sih pastinya gue ga bisa setiap kali belanja dengan cara begini. Tergantung mood juga ye. Kalo lagi baik, amal dikit boleh lah. Tapi kalo mereka ga bisa diandalkan buat ngasih uang kembalian yang pas, gue yang bakalan bayar belanjaan dengan uang pas. Kalo mereka ga menghargai uang receh gue, gue akan kasih pilihan mereka buat nerima uang receh gue atau mereka kasih uang kembali yang pas. Terserah bagaimana. Kalo ditawarin pengganti kembalian, gue hanya mau mempertimbangkan coklat Toblerone atau Ferrero Rocher.

Mari kita buat perhitungan.