Tadi pagi.
Baru aja duduk di depan komputer kantor, telepon berbunyi.
Biarpun gue udah tau dia ini maunya apa, karena masih pagi, okelah gue kasih lampu hijau. Langsung dimulai oleh ucapan terima kasih dan penjelasan panjang lebar tentang data partisipasi gue beberapa tahun yang lalu. Dilanjutkan dengan permintaan partisipasi khusus untuk bulan ini saja, dengan nominal yang lebih kecil.
Gue sampai harus mengulang penolakan gue dua kali.
Pikir-pikir, harusnya pertanyaan pembuka di atas ini diganti menjadi "Boleh minta sumbangannya?", yang pastinya akan jauh menghemat waktu kedua belah pihak.
Karena jawaban gue pastinya tetap sama. Sama seperti alasan kenapa gue menghentikan partisipasi gue. Biar dibujuk seperti apapun, kalo memang gue ga mau nyumbang, ya gue ga bakalan nyumbang.
Kalo gue mau nyumbang, ga perlu sampe khusus ditelpon begitu, pasti gue akan cari cara buat nyumbang.
Maksudnya memang baik, dan bukan gue ga percaya atau curiga. Tapi kalau dilakukan dengan cara seperti ini, sama dengan menodong?
Apakah gue merasa bersalah karena menolak menyumbang demi kebaikan anak-anak yang membutuhkan? Mungkin. Tapi semua orang punya prioritas dan kebutuhan. Dan sampai mereka bisa "meminta" atau membujuk orang untuk bersimpati dan memberikan sumbangan sukarela dengan cara yang lebih baik dan etis, gue lebih memilih menyumbang ke celengan anak gue.
Apakah gue takut dianggap pelit? Kagak. Memang gue pelit.
Baru aja duduk di depan komputer kantor, telepon berbunyi.
"Selamat pagi, Ibu. Saya dari ... (nama badan perlindungan anak-anak). Boleh minta waktunya sebentar?"
Biarpun gue udah tau dia ini maunya apa, karena masih pagi, okelah gue kasih lampu hijau. Langsung dimulai oleh ucapan terima kasih dan penjelasan panjang lebar tentang data partisipasi gue beberapa tahun yang lalu. Dilanjutkan dengan permintaan partisipasi khusus untuk bulan ini saja, dengan nominal yang lebih kecil.
Gue sampai harus mengulang penolakan gue dua kali.
Pikir-pikir, harusnya pertanyaan pembuka di atas ini diganti menjadi "Boleh minta sumbangannya?", yang pastinya akan jauh menghemat waktu kedua belah pihak.
Karena jawaban gue pastinya tetap sama. Sama seperti alasan kenapa gue menghentikan partisipasi gue. Biar dibujuk seperti apapun, kalo memang gue ga mau nyumbang, ya gue ga bakalan nyumbang.
Kalo gue mau nyumbang, ga perlu sampe khusus ditelpon begitu, pasti gue akan cari cara buat nyumbang.
Maksudnya memang baik, dan bukan gue ga percaya atau curiga. Tapi kalau dilakukan dengan cara seperti ini, sama dengan menodong?
Apakah gue merasa bersalah karena menolak menyumbang demi kebaikan anak-anak yang membutuhkan? Mungkin. Tapi semua orang punya prioritas dan kebutuhan. Dan sampai mereka bisa "meminta" atau membujuk orang untuk bersimpati dan memberikan sumbangan sukarela dengan cara yang lebih baik dan etis, gue lebih memilih menyumbang ke celengan anak gue.
Apakah gue takut dianggap pelit? Kagak. Memang gue pelit.
**********
Tadi sore.
Bayar belanjaan hypermarket senilai Rp 108.675,- dengan uang sebesar Rp 110.000,-
Dengan sangat menyesal, gue ga bawa dompet koin gue dan gue siap-siap kehilangan Rp 25,- (serupa yang sering terjadi di sini).
Gue mengharapkan kasir akan mengembalikan senilai Rp 1.300,- tanpa permintaan maaf atas sisa receh yang duapuluhlima tersebut.
Langsung gue tolak ketus, "NGGAK!!"
Catat. Dia meminta gue menyumbang tigaratus rupiah. Seandainya dia meminta gue menyumbang tigaratusduapuluhlima rupiah, pastinya gue akan berkata lain.
Kasir pun kelabakan mengembalikan uang gue, sampai harus pinjam dua logam limaratusan dan tiga logam seratusan dari kasir sebelahnya.
Transaksi selesai, gue cek struk pembayaran, bisa diduga di sana tercetak kembalian utuh Rp 1.325,-
Kalo mau jujur, bisa kan yang duapuluhlima itu dicetak sebagai sumbangan.
Apakah gue merasa bersalah karena ga mau nyumbang amal biarpun cuma Rp 300,-? Kagak. Kenyataannya gue udah nyumbang Rp 25,-. Masalah itu receh masuk ke kantong kasir atau ke kantong amal, gue relakan aja.
Apakah gue takut dianggap pelit?
Memangnya gue pikirin??
Bayar belanjaan hypermarket senilai Rp 108.675,- dengan uang sebesar Rp 110.000,-
Dengan sangat menyesal, gue ga bawa dompet koin gue dan gue siap-siap kehilangan Rp 25,- (serupa yang sering terjadi di sini).
Gue mengharapkan kasir akan mengembalikan senilai Rp 1.300,- tanpa permintaan maaf atas sisa receh yang duapuluhlima tersebut.
"Yang tigaratus rupiahnya mau disumbangkan, Bu?"
Langsung gue tolak ketus, "NGGAK!!"
Catat. Dia meminta gue menyumbang tigaratus rupiah. Seandainya dia meminta gue menyumbang tigaratusduapuluhlima rupiah, pastinya gue akan berkata lain.
Kasir pun kelabakan mengembalikan uang gue, sampai harus pinjam dua logam limaratusan dan tiga logam seratusan dari kasir sebelahnya.
Transaksi selesai, gue cek struk pembayaran, bisa diduga di sana tercetak kembalian utuh Rp 1.325,-
Kalo mau jujur, bisa kan yang duapuluhlima itu dicetak sebagai sumbangan.
Apakah gue merasa bersalah karena ga mau nyumbang amal biarpun cuma Rp 300,-? Kagak. Kenyataannya gue udah nyumbang Rp 25,-. Masalah itu receh masuk ke kantong kasir atau ke kantong amal, gue relakan aja.
Apakah gue takut dianggap pelit?
Memangnya gue pikirin??
0 comments:
Post a Comment